Dasar
Pemberat Pidana Karena Recidive
Dilihat dari sistem hukum yang berlaku
di dunia, pengaturan yang menyangkut masalah tentang recidive sudah ada sejak
pada zaman Hukum Romawi yang telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Sagala pengaturan
yang mengenai tentang recidive ini kemudian dimasukkan juga dalam Eode Penal
Praneis yang merupakan cikal baka daril hukum pidana Belanda (W.v.S).
Di masyarakat umum bahwa residivis
adalah seorang penjahat yang telah selesai menjalankan pidananya atau seorang penjahat
yang telah keluar dari tahanan. Dari sisni masyarakat akan mengkonotasikan
seorang recidive sebagai seorang yang sangat jahatdan jahat bahkan bengis, kejam, tidak
beragama, tidak berperikemanusiaan, dan masih banyak lagi.
Residivis merupakan orangnya ( si-pelaku
) sedangkan untuk perbuatannya dapat dinamakan dengan recidive. Dalams segi
istilah ini banyak yang mengkonotasikan hmpir sama dengan apayang telah
dipersepsikan masyarakat luas.
Kiranya telah dapat dimengerti bahwa
recidive adalah sama dengan pengulangan tindak pidana. Berikut menurut beberapa
orang yang bisa dibilang ahli dalm hal ini :[1]
a. Barda
Nawawi Arief
recidive terjadi dalam
hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana
dengan suatu putusan hakim yang tetap (in kraeht van gewysde), kemudian
melakukan suatu tidak pidana lagi.
b. I Made Widnyana
mengatakan bahwa
reeidive itu terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatanpidana dan
terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi dengan putusan hakim. Pidana
tersebut telah dijalankan akan tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan
dikembalikan kepada masyarakat, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan
tersebut ia kembali melakukan perbuatan pidana.
c. A.
Zainal Abidin Farid
A. Zainal Abidin Farid tampaknya
sama dengan pendapat Barda Nawawi Arief dan I Made Widnyana tentang recidive.
A. Zainal Abidin Faridm menyatakan bahwa recidive atau pengulangan kejahatan
tertentu terjadi bilamana oleh orang yang sama mewujudkan lagi suatu delik,
yang diantara oleh putusan pengadilan negeri yang telah memidana pembuat delik.
Berdasarkan pengertian recidive diatas
merupakan sama dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
yang telah pernah dipidana. Hampir sama dengan ajaran perbarengan/gabungan
dalam melakukan tindak pidana, Akan tetapi di antara keduanya ada perbedaannya.
Menurut Adami Ehazawi, rasio dasar
pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu:[2]
1. Faktor
lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
2. Faktor
telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana
yang pertama;
3. Pidana
itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan.
Menurut I Made Widnyana, adapun yang
menjadi alasan untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat bagi residivis adalah "Apabila
orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian ia melakukan perbuatan itu lagi,
maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang kurang baik. Meskipun ia telah
dipidana tetapi karena sifatnya yang kurang baik itu, ia kembali melakukan
perbuatan pidana. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka reeidivis perlu
dijatuhi pidana yang lebih berat lagi meskipun ia telah dididik dalam Lembaga
Pemasyarakatan agar mereka kemudian setelah kembali ke dalam masyarakat dapat
hidup normal sebagai warga masyarakat lainnya. Tetapi meskipun demikian teh
juga ia melakukan perbuatan pidana lagi".
Berikut dijelaskan antara dua sistem
yang menjadikan seseorang dikenakan pemberatan pidana berdasarkan reidive :
1.
Recidive umum.
Menurut sistem ini, setiap pengulangan
terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja,
merupakan alasan untuk pemberatan pidana. Jadi, tidak ditentukan jenis tindak
pidana yang dilakukan maupun tenggang waktu pengulanganya, maka dalam sistem ini
tidak ada daluarsa recidive.
2.
Recidive khusus.
Menurut sistem ini tidak semua jenis
pengulangan merupakan alasan untuk pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya
dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu
dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
Di samping kedua sistem pemberatan
pidana untuk reeidive di atas, ada juga yang menambahkan dengan sistem ketiga,
yaitu: tussen stelsel. tussen stelsel merupakan suatu sistem yang tempatnya
antara reeidive umum dan reeidive khusus. Made Widnyana menjelaskan tussen
stelselsebagai berikuezs "Tussen stelsel terjadi apabila seseorang
melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana itu telah dijatuhi
pidana oleh hakim. Tetapi setelah ia menjalani pidana dan kemudian dibebaskan
lagi atau kembali orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana
yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh
undang-undang". Lebih lanjut, beliau menjelaskan maksud dari
"perbuatan pidana menurut penggolongan undang-undang" dalam hal
tussen stelsel.
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, sistem antam atau tussen stelsel untuk
reeidive ini adalah pengatuian tentang reeidive berdasarkan pengelompokan
beberapa kejahatan yang menurut sifatnya dianggap sama. Beberapa kejahatan
dikelompokkan dalam satu kelompok, dan apabila terjadi pengulangan dalam
kelompok kejahatan tersebut maka si pelakunya dapat dikenai pemberatan tentang
recidive.
Dalam hal demikian, tindak pidana yang
menurut sifatnya dianggap sama seperti tindak pidana peneurian, penggelapan dan
perampasan. Ketiga tindak pidana tersebut merupakan kejahatan terhadap harta
kekayaan (asal tertuju dalam harta kekayaan). Misalnya: A melakukan peneurian,
setelah diadili dan dipidana serta menjalani pidananya kemudian A dikembalikan
ke masyarakat bebas. Bilamana kemudian A melakukan delik lagi yang sifatnya
sama dengan delik terdahulu (misalnya: penggelapan dan perampasan), maka
pidananya dapat diperberat.[3]
No comments:
Post a Comment