Pemberatan Karena Jabatan
Dasar pemberatan pidana karena jabatan
ini diatur dalam pasal 52 KUHP yang menyatakan bahwa seorang pejabat karena
melakukan perbuatan pidana yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya,
atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau
sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah
sepertiga dari apa yang telah diberikan putusan kepada si-pelaku. Seorang
pejabat yang dimaksudkan dalam ketentuan tersebut adalah seorang pegawai pemerintahan
yang berstatus sebagai pegawai negeri
sipil.
Beberapa unsur yang dapat dijadikan
dasar untuk memperberat pemidanaan (ditambah sepertiga) bagi seorang pegawai
negeri sipil, yaitu:[1]
1.Melanggar
suatu kewajiban khusus dari jabatannya.
2.Memakai
kekuasaan jabatannya.
3.Menggunakan
kesempatan karena jabatannya.
4.Menggunakan
sarana yang diberikan karena jabatannya.
Oleh karena hal yang menyangkut hal yang
berkenaan diatas, seorang yang menyandang pegawai negeri sipil akan harus
bertindak sesuai dengan apa yang sesuai dengan kewajibannya dan harus sesuai
dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Walaupun kewajiban dan tanggung
jawab yang harus dijalankan itu sulit dan penuh dengan godaan tetapi dalam
urusan pelaksanaan pekerjaan tersebut haruslah memiliki nilai yang tentunya memberikan
suatu unsur yang positif bagi yang bersangkutan maupun bagi hasil pekerjaan
tersebut.
Walaupun suatu tugas yang diemban
kepadanya adalah tugas yang sangat strategis, namun dalam hal ini dibutuhkan
kejelian dan kematangan seorang pejabat untuk tidak menggunakan jabatannya
sebagai alat yang menjadi penguasa yang
disalah gunakan atas apa yang telah menjadikan dirinya dengan seewenang-wenang.
Dengan kewenangan tersebut seorang yang memiliki jabatan tersebut harus tetap
taat dan patuh terhadap hukum dan aturan yang berlaku.
Di dalam masyarakat, seorang yang
memiliki jabatan dianggap seorang yang besar dimata mereka, karena seorang yang
memiliki jabatan dalam dunia pemerintahan dianggap mampu dan bisa serta dapat
dijadikan simbol kebesaran dan kebanggan di suatu masyarakat tersebut. Dan
jikalau pejabat tersebut menyalah gunakan hak dan kekuasaan atas dirinya dan
atas kepentingan yang dapat merugikan orang lain, maka seorang pejabat tersebut
dapat dijatuhi hukuman atas dasar keadilan yang telah dilanggarnya dan dapat
ditambah dengan dasar-dasar pemberatan pidana yang tentunya akan sangat
memberatkan kepada si-pejabat.
Dari 4 (empat) unsur pegawai negeri
sipil berdasarkan Pasal 52 tersebut sebenamya masih dapat disederhanakan lagi
hanya menjadi 2 (dua) unsur yaitu:[2]
1. Melanggar
suatu kewajiban khusus dari jabatannya.
2. Memakai
kekuasaan, mengunakan kesempatan, dan menggunakan sarana yang diberikan karena
jabatannya.
Alasan pemberat pidana karena jabatan
tersebut jarang sekali dipergunakan dalam sebuah praktik oleh penuntut umum maupun
hakim itu sendiri. Bahkan pemberat pidana karena jabatan seolah-olah dianggap
tidak ada dalam praktik, hal ini karena petugas sendiri sulit untuk membuktikan unsur pegawai negeri
yang menurut Pasal 52 tersebut. Misalnya, Syarat nomor 1 tidak terpenuhi dalam
kasus seorang polisi yang seharusnya bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman
umum justru melakukam pencurian. Barulah anggota polisi tersebut melanggar
kewajibannya yang istimewa karena jabatannya kalau ia memang ditugaskan khusus
untuk menjaga uang suatu bank negara, lalu ia sendiri mencuri uang ini.[3]
Dari sinilah pasal 52 ini sangatlah
sulit dalam penerapannya disuatu masyarakat yang tentunya memiliki unsur-unsur
tersendiri. Dalam hal yang sangat sulit tersebut seorang yang menangani masalah
ini harus jeli dan pintar mengambil suatu keputusan yang tentunya hakim, jaksa
maupun yang bertugas yang lainpun harus bisa mengambil peluang dalam memutuskan
perkara yang telah diberikan kepadanya.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu dikemukakan di
sini adalah: apakah pemberatan pidana karena jabatan dalam Pasal 52 ini berlaku
juga untuk "Kejahatan Jabatan" dan "Pe1anggaran Jabatan"
sebagaimana diatur dalam Bab XXVIII Buku Kedua dan Bab VIII Buku Ketiga KUHP?
Menurut doktrin, ketentuan dalam Pasal 52 tidak dapat diberlakukan sebagai
alasan pemberat pidana untuk "Kejahatan Jabatan" dan
"Pelanggaran Jabatan" sebagaimana diatur dalam Bab XXVIII Buku Kedua
dan Bab VIII Buku Ketiga KUHP.[4]
Dalam Buku Kesatu Bab III KUHP hanya ditemukan 2
(dua) pasal yang mengatur masalah pemberatan pidana, yaitu Pasal 52 dan Pasal
52a.
a. Pasal
52 menyatakan: "Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan I
pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu
melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
b. Pasal
52a: "Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan
Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.
Selain kedua pasal tersebut, dalam KUHP dapat juga ditemukan dasar hukum lain
yang merupakan alasan pemberat pidana, yaitu ketentuan yang mengatur masalah
gabungan/perbarengan tindak pidana dan masalah recidive. Dasar hukum gabungan
tindak pidana yang merupakan alasan pemberat pidana dapat dilihat dalam Pasal
63 sampai dengan 71 KUHP.
Dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) juga
menyebutkan secara eksplisit tentang masalah pemberatan pidana. Pasal 12 ayat
(2) mengatur tentang pemberatan pidana yang dimungkinkan atas delik-de1ik yang mengenai ancaman pidana penjara maksimalnya 15
tahun penjara akan tetapi dapat dipidana penjara selama maksimal 20 tahun.
Dasamya untuk dapat menjatuhkan pidana penjara lebih dari 15 tahun adalah
karena adanya perbarengan/gabungan tindak pidana, pengulangan, atau karena
jabatan(Pasa1 52 KUHP) dan menggunakan bendera kebangsaan (Pasal 52a KUHP).
No comments:
Post a Comment