Saturday 26 May 2012

Pemberatan Pidana Dan Peringanan Pidana


Pemberatan Pidana Dan Peringanan Pidana

Dalam menangani suatu persoalan yang akan dihadapkan kepada seorang hakim yang akan menangani masalah baik dalam KUHP, KUHAP, ataupun undang-undang Pidana Khusus di luar KUHP, pasti akan dikait-kaitkan dengan dasar-dasar pemberat dan peringanan pidana. Dalam prosesnya seorang aparat penegak hukum diberikan peluang dan kebebasan  untuk menerapkan prinsip pemberatan pidana ini terhadap seorang  terdakwa yang akan melalui proses peradilan. Penerapannya dimulai dari proses penyidikan sampai dengan penjatuhan pidana oleh pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal demikian suatu pembaratan pidana akan berpedoman pada dua hal pemikiran, yaitu  :
1.      peraturan perundang-undangan pidana.
2.      proses peradilan pidana itu sendiri.
Di samping dua hal pemikiran diatas itu, klasifikasi yang dikemukakan oleh seorang penegakan hukum  disini juga diperkuat oleh beberapa hal, antara lain :
1.      doktrin.
2.      praktik di lapangan.
3.      yurisprudensi ( putusan hakim ) yang terkait.
Dalam prinsip pemberatan pidana hanya dikenal dua klasifikasi yang akan dilimpahkan kepada terdakwa, yaitu :[1]
1.      pemberat pidana yang bersifat primer.
pemberat pidana yang bersifat primer ini merupakan dasar pemberat pidana utama yang mengacu pada KUHP dan undang-undang pidana khusus (hukum pidana materiil) yang harus diperhatikan oleh aparat-aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa, dan hakim. Penerapan prinsip pemberat pidana primer ini dimulai sejak seorang pelaku ataupun terdakwa diproses pada tahap penyidikan oleh kepolisian serta penyusunan surat dakwaan oleh kejaksaan yang bersangkutan.
Prinsip pemberat pidana primer ini juga masih tetap diperhatikan ketika hakim akan menjatuhkan pidana. Artinya, dalam proses pemberatan pidana yang selanjutnya (yang bersifat sekunder), prinsip pemberat pidana primer ini juga harus tetap menjadi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Oleh karena, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana lebih berat dari ancaman pidana yang ditetapkan dalam delik atau lebih diperberat lagi setelah adanya pemberatan pidana yang bersifat primer ini. Inilah yang dimaksudkan dengan sistem maksimum khusus dalam sistem pemidanaan menurut KUHP (hukum pidana materiil) Indonesia.
2.      pemberat pidana yang bersifat sekunder.
Pemberat pidana yang bersifat sekunder merupakan dasar pemberat pidana yang bersifat tambahan dengan fungsi sebagai pedoman pemidanaan, yang dirumuskan pada surat tuntutan dan putusan pemidanaan. Pemberat pidana yang bersifat sekunder ini dapat bergantung pada pemberat pidana yang bersifat primer dan juga dapat tidak tergantung pada prinsip pemberat pidana primer.
Apabila bergantung pada prinsip pemberat primer maka pemberatan pidana yang harus dirumuskan dalam surat tuntutan dan putusan pemidanaan tidak boleh melebihi pemberatan yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang. Sebaliknya, apabila berdiri sendiri, maka sebenamya tidak ada pemberatan pidana oleh karena pidana maksimal yang dapat dijatuhkana adalah sesuai dengan ancaman pidana maksimal dalam rumusan delik. Hanya saja, Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) dan Hakim tetap harus mengemukakan hal-hal yang memberatkan pemidanaan terdakwa.
Dasar pemberat pidana sekunder ini mengacu pada KUHAP, praktik serta yurisprudensi ( putusan hakuim ). Penerapan prinsip pemberat pidana sekunder ini dilaksanakan untuk terdakwa sejak proses penuntutan dan mengadili. Oleh karena itu, pemberat pidana sekunder merupakan pemberatan pidana yang harus dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim dalam surat tuntutan (requisitoir) serta putusan pengadilan. Namun demikian, satu hal mendasar yang perlu diingat bahwa memberikan pemberatan pidana pada si pelaku harus tetap berpedoman pada prinsip pemberat pidana yang bersifat primer. Artinya, pemidanaan yang dijatuhkan sekali-kali tidak boleh melebihi dari ancaman pidana maksimal yang sudah diperberat.
Seorang yang telah dipidana tidak dapat dieksekusi lebih lama dari pidana yang telah ditetapkan dalam putusan hakim yang menanganinya. Apabila eksekusi melebihi putusan pengadilan maka dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran terhadap terdakwa. Pelanggaran ini juga lebih umum dikatakan dengan pelanggaran HAM, pelanggaran HAM ini akan menjadi suatu hal yang berbeda dengan apa yang terjadi terhadap putusan tersebut. Oleh karena itu suatu keputusan hakim yang menangani masalah yang berkaitan atau berkenaan dengan pertimbangan pemberatan hukum pidana diwajibkan dan diharuskan lebih teliti dan berhati-hati dalam menangani kasus dalam keputusan yang akan dilayangkan kepada terdakwa.
Seorang terdakwa dalam hal ini juga harus mendapatkan perhatian dalam arti entah itu dalam bentuk keputusan yang seadil-adilnya, jaminan perlindungan yang nyata, keselamatan dan keamanan yang harus dapat dipercaya, dan entah itu dalam bentuk yang wajib diberikan oleh aparat kepada terdakwa yang memiliki kasus tersebut.
Dasar pemberatan pidana yang telah dirumuskan dan 'diperhitungkan' didalam surat dakwaan tidak dapat diperberat lagi dalam surat tuntutan (requisitoir) dan putusan pengadilan. Pemberatan pidana pada surat tuntutan (requilsitoir) dan putusan pengadilan haruslah mengacu pada surat dakwaan yang sebelumnya yang telah menjadi dasar adanya suatu permasalahan ataupun kasusnya.
Hal ini sejalan dengan pola pemidanaan yang dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yakni :
1.      Pola maksimum khusus.
2.      Pola maksimum umum.
3.      Pola minimum umum.
Pola-pola ini memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) dan Hakim sebagai penguji dalam menentukan batas minimum ( 1 hari penjara dan/atau 1 hari kurungan tahanan ) namun tidak boleh melebihi batas maksimal dengan apa yang telah ditentukan dalam rumusan delik termasuk ditambah 1/3 (sepertiga) apabila ada pemberatan.[2] Oleh karena inilah seorang penguji akan dapat terlihat apakah atau seberapa jelikah seorang penguji dapat dijadikan seorang yang dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang penguji.
Dalam suatu kasus pidana yang bersifat atau tergolong primer merupakan dasar pemberatan dalam pidana utama yang mengacu atau memiliki titik dasar pada KUHP dan undang-undang pidana khusus (hukum pidana materiil) untuk dijadikan sebagai pedoman pemberatan pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan mengadili seorang terdakwa. Dengan demikian, penerapan prinsip pemberatan pidana primer ini dimulai sejak seorang pelaku terdakwa diproses pada tahap penyidikan oleh petugas aparat kepolisian, penyusunan surat dakwaan oleh kejaksaan, penyusunan surat tuntutan, maupun ketika akan menjatuhkan pidana.
Seorang Jaksa Penuntut Umum dan Hakim tentunya harus memperhatikan hitungan pidana terberat yang dapat diberikan pada terdakwa dalam hal adanya alasan pemberat pidana. Hitungan pidana terberat tersebut tidak boleh diabaikan. Oleh karena, apabila pidana yang dituntut atau dijatuhkan lebih diperberat lagi dari pidana maksimum (khusus) yang telah diperberat maka hal ini merupakan penyimpangan dari sistem pemidanaan maksimum (khusus). Akibat hukumnya tidak ditegaskan dengan pasti baik dalam KUHP maupun KUHAP. Akan tetapi, dilihat dari sisi praktik, kelalaian ini merupakan celah hukum bagi pelaku atau lawyer-nya untuk melakukan perlawanan hukum. Misalnya saja, mengajukan pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan atau mengajukan upaya hukum atas ada putusan pemidanaan. Lebih jauh, putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum (van reehtsweenietig) oleh pengadilan yang lebih tinggi.


[1]httpid-id.facebook.comnote.phpnote_id=152391601470666
[2]httpid-id.facebook.comnote.phpnote_id=152391601470666

3 comments:

Powered By Blogger