Pemberatan
Pidana Dan Peringanan Pidana
Dalam menangani
suatu persoalan yang akan dihadapkan kepada seorang hakim yang akan menangani
masalah baik dalam KUHP, KUHAP, ataupun undang-undang Pidana Khusus di luar
KUHP, pasti akan dikait-kaitkan dengan dasar-dasar pemberat dan peringanan
pidana. Dalam prosesnya seorang aparat penegak hukum diberikan peluang dan
kebebasan untuk menerapkan prinsip pemberatan
pidana ini terhadap seorang terdakwa
yang akan melalui proses peradilan. Penerapannya dimulai dari proses penyidikan
sampai dengan penjatuhan pidana oleh pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal
demikian suatu pembaratan pidana akan berpedoman pada dua hal pemikiran, yaitu :
1. peraturan
perundang-undangan pidana.
2. proses
peradilan pidana itu sendiri.
Di
samping dua hal pemikiran diatas itu, klasifikasi yang dikemukakan oleh seorang
penegakan hukum disini juga diperkuat
oleh beberapa hal, antara lain :
1. doktrin.
2. praktik
di lapangan.
3. yurisprudensi
( putusan hakim ) yang terkait.
Dalam
prinsip pemberatan pidana hanya dikenal dua klasifikasi yang akan dilimpahkan
kepada terdakwa, yaitu :[1]
1. pemberat
pidana yang bersifat primer.
pemberat
pidana yang bersifat primer ini merupakan dasar pemberat pidana utama yang
mengacu pada KUHP dan undang-undang pidana khusus (hukum pidana materiil) yang
harus diperhatikan oleh aparat-aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa,
dan hakim. Penerapan prinsip pemberat pidana primer ini dimulai sejak seorang
pelaku ataupun terdakwa diproses pada tahap penyidikan oleh kepolisian serta
penyusunan surat dakwaan oleh kejaksaan yang bersangkutan.
Prinsip
pemberat pidana primer ini juga masih tetap diperhatikan ketika hakim akan menjatuhkan
pidana. Artinya, dalam proses pemberatan pidana yang selanjutnya (yang bersifat
sekunder), prinsip pemberat pidana primer ini juga harus tetap menjadi pedoman
bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Oleh karena, hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana lebih berat dari ancaman pidana yang ditetapkan dalam delik atau lebih
diperberat lagi setelah adanya pemberatan pidana yang bersifat primer ini.
Inilah yang dimaksudkan dengan sistem maksimum khusus dalam sistem pemidanaan
menurut KUHP (hukum pidana materiil) Indonesia.
2. pemberat
pidana yang bersifat sekunder.
Pemberat
pidana yang bersifat sekunder merupakan dasar pemberat pidana yang bersifat
tambahan dengan fungsi sebagai pedoman pemidanaan, yang dirumuskan pada surat
tuntutan dan putusan pemidanaan. Pemberat pidana yang bersifat sekunder ini
dapat bergantung pada pemberat pidana yang bersifat primer dan juga dapat tidak
tergantung pada prinsip pemberat pidana primer.
Apabila
bergantung pada prinsip pemberat primer maka pemberatan pidana yang harus
dirumuskan dalam surat tuntutan dan putusan pemidanaan tidak boleh melebihi
pemberatan yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang. Sebaliknya,
apabila berdiri sendiri, maka sebenamya tidak ada pemberatan pidana oleh karena
pidana maksimal yang dapat dijatuhkana adalah sesuai dengan ancaman pidana
maksimal dalam rumusan delik. Hanya saja, Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) dan Hakim
tetap harus mengemukakan hal-hal yang memberatkan pemidanaan terdakwa.
Dasar
pemberat pidana sekunder ini mengacu pada KUHAP, praktik serta yurisprudensi (
putusan hakuim ). Penerapan prinsip pemberat pidana sekunder ini dilaksanakan
untuk terdakwa sejak proses penuntutan dan mengadili. Oleh karena itu, pemberat
pidana sekunder merupakan pemberatan pidana yang harus dikemukakan oleh Jaksa
Penuntut Umum maupun Hakim dalam surat tuntutan (requisitoir) serta putusan
pengadilan. Namun demikian, satu hal mendasar yang perlu diingat bahwa
memberikan pemberatan pidana pada si pelaku harus tetap berpedoman pada prinsip
pemberat pidana yang bersifat primer. Artinya, pemidanaan yang dijatuhkan
sekali-kali tidak boleh melebihi dari ancaman pidana maksimal yang sudah
diperberat.
Seorang
yang telah dipidana tidak dapat dieksekusi lebih lama dari pidana yang telah
ditetapkan dalam putusan hakim yang menanganinya. Apabila eksekusi melebihi
putusan pengadilan maka dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran terhadap
terdakwa. Pelanggaran ini juga lebih umum dikatakan dengan pelanggaran HAM,
pelanggaran HAM ini akan menjadi suatu hal yang berbeda dengan apa yang terjadi
terhadap putusan tersebut. Oleh karena itu suatu keputusan hakim yang menangani
masalah yang berkaitan atau berkenaan dengan pertimbangan pemberatan hukum
pidana diwajibkan dan diharuskan lebih teliti dan berhati-hati dalam menangani
kasus dalam keputusan yang akan dilayangkan kepada terdakwa.
Seorang
terdakwa dalam hal ini juga harus mendapatkan perhatian dalam arti entah itu
dalam bentuk keputusan yang seadil-adilnya, jaminan perlindungan yang nyata,
keselamatan dan keamanan yang harus dapat dipercaya, dan entah itu dalam bentuk
yang wajib diberikan oleh aparat kepada terdakwa yang memiliki kasus tersebut.
Dasar
pemberatan pidana yang telah dirumuskan dan 'diperhitungkan' didalam surat
dakwaan tidak dapat diperberat lagi dalam surat tuntutan (requisitoir) dan
putusan pengadilan. Pemberatan pidana pada surat tuntutan (requilsitoir) dan
putusan pengadilan haruslah mengacu pada surat dakwaan yang sebelumnya yang
telah menjadi dasar adanya suatu permasalahan ataupun kasusnya.
Hal
ini sejalan dengan pola pemidanaan yang dianut dalam sistem hukum pidana di
1. Pola
maksimum khusus.
2. Pola
maksimum umum.
3. Pola
minimum umum.
Pola-pola
ini memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada Jaksa Penuntut Umum ( JPU )
dan Hakim sebagai penguji dalam menentukan batas minimum ( 1 hari penjara
dan/atau 1 hari kurungan tahanan ) namun tidak boleh melebihi batas maksimal
dengan apa yang telah ditentukan dalam rumusan delik termasuk ditambah 1/3
(sepertiga) apabila ada pemberatan.[2]
Oleh karena inilah seorang penguji akan dapat terlihat apakah atau seberapa
jelikah seorang penguji dapat dijadikan seorang yang dapat menjalankan tugasnya
sebagai seorang penguji.
Dalam suatu
kasus pidana yang bersifat atau tergolong primer merupakan dasar pemberatan dalam
pidana utama yang mengacu atau memiliki titik dasar pada KUHP dan undang-undang
pidana khusus (hukum pidana materiil) untuk dijadikan sebagai pedoman
pemberatan pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan mengadili seorang
terdakwa. Dengan demikian, penerapan prinsip pemberatan pidana primer ini
dimulai sejak seorang pelaku terdakwa diproses pada tahap penyidikan oleh
petugas aparat kepolisian, penyusunan surat dakwaan oleh kejaksaan, penyusunan
surat tuntutan, maupun ketika akan menjatuhkan pidana.
Seorang Jaksa Penuntut Umum dan Hakim
tentunya harus memperhatikan hitungan pidana terberat yang dapat diberikan pada
terdakwa dalam hal adanya alasan pemberat pidana. Hitungan pidana terberat
tersebut tidak boleh diabaikan. Oleh karena, apabila pidana yang dituntut atau
dijatuhkan lebih diperberat lagi dari pidana maksimum (khusus) yang telah
diperberat maka hal ini merupakan penyimpangan dari sistem pemidanaan maksimum
(khusus). Akibat hukumnya tidak ditegaskan dengan pasti baik dalam KUHP maupun
KUHAP. Akan tetapi, dilihat dari sisi praktik, kelalaian ini merupakan celah
hukum bagi pelaku atau lawyer-nya untuk melakukan perlawanan hukum. Misalnya
saja, mengajukan pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan atau
mengajukan upaya hukum atas ada putusan pemidanaan. Lebih jauh, putusan
tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum (van reehtsweenietig) oleh
pengadilan yang lebih tinggi.
mkaasiihh... :D
ReplyDeletesalam kenal!
salam kenal
Deletetetap semangat belajar
keep fight :)
makacih
ReplyDelete